Kembali saya menulis catatan perjalanan (semoga dapat bermanfaat bagi yang lain). Catatan ini menguraikan perjalanan saya ketika survey lokasi di Sungsang. Sebuah kota air, Venice of South Sumatera Venice of South Sumatera, yang termasuk dalan kawasan kabupaten Banyuasin.
Kami berangkat dengan cara dijemput oleh sebuah mobil yang rencananya akan membawa kami ke parit lima. Nama sebuah sungai kecil yang bersambungan langsung dengan sungai besar aliran sungai Musi menuju Sungsang. Sungai ini dapat dimasuki hanya pada saat ketika air sungai sedang pasang. Tempat ini belum pernah kami datangi karena sebelumnya, paling jauh kami sampai di jembatan PU. Jalan rata bebatuan koral belum diaspal yang rencananya sampai ke tanjung Apiapi.
Kurang lebih satu jam kami tiba ditujuan. Sebuah warung kopi menjadi tempat transit yang pas untuk calon penumpang yang hendak menuju Sungsang. Tidak lama menunggu setelah menaikkan barang-barang bawaan, kami berangkat dengan speed boat. Terkejut, tidak sampai atau kurang lebih lima belas menit kami telah tiba di Sungsang. Sangat jauh memotong jam perjalanan jika kami berangkat dari Benteng Kuto Besak (BKB), biasanya perjalanan dari BKB menuju Sungsang dengan speed boat memakan waktu dua jam. Waktu ditabung untuk kami.
Kota ini berada di pinggir muara laut, yang (tentu saja) sarat dengan kehidupan bahari tentunya. Pemandangan kapal-kapal penangkap ikan – dari ukuran besar sampai yang kecil – dengan layar yang masih terlipat parkir di dermaga rumah penduduk, speed boat, jaring ikan, tonggak-tonggak kayu nibung sebagai tiang rumah sampai hamparan ikan asin yang sedang dijemur menjadi pemandangan baru bagi saya.
Pusat kota ini terbentang lurus dari ulu ke ilir. Beragam aktifitas baru yang tidak ditemui di Palembang saya temui disini. Bapak-bapak yang sedang menyulam jaring, memperbaikinya setelah koyak disana-sini akibat diseret kapal atau diterjang oleh ikan besar (hiu barangkali…siapa tahu).
Ibu-ibu berkumpul di sebuah bangunan beratap tanpa dinding – digunakan juga oleh bapak-bapak dan anak muda berkumpul untuk sekedar melepas lelah atau sarana masyarakat kota ini bersosialisasi – sambil bersenda gurau mengiris adonan bulat lonjong mirip pempek setengah kering tapi berwarna merah jambu menjadi irisan tipis-tipis, ini adalah pabrik pembuatan kerupuk udang. Kerupuk udang buatan Sungsang telah kondang ke seluruh daratan Sumsel, terutama Palembang.
Sebuah pabrik lain berdiri tak jauh dari sana, sedikit masuk lorong mengarah ke sungai, bapak-bapak yang sedang merebus ikan dan udang, memprosesnya menjadi ikan asin dan belacan atau terasi (caluk, kalo kato wong Palembang). Sebuah wadah (terbuat dari drum yang dipotong menjadi dua) menjadi media untuk memasak udang tersebut.
Sementara disisi sungai bapak-bapak dan anak-anak muda memperbaiki kapal-kapal mereka, memukul, mengecat, dan mendempul. Ada yang istirahat setelah lelah beberapa hari melaut. Ada pula yang melepas kail ke sungai sekedar iseng mengisi waktu, siapa tahu dewi fortuna sedang baik padanya, ikan besar akan menghampiri dan menangkap umpan di kail. Makan malam pun tak hanya dengan garam (mmm…).
Oh ya, ada satu lagi pemandangan – yang bagi saya cukup aneh – lain disini, yaitu disini babi celeng hidup damai bersama penduduk. Mereka mencari makan dibawah rumah-rumah penduduk tanpa ada gangguan dari orang-orang yang tinggal diatasnya. Penduduk disini bahkan akan marah kalau kita mengganggu babi-babi itu. (beginilah seharusnya hidup, damai dengan semua mahluk ciptaan tuhan)
Pertama-tama kami mencari seorang teman yang juga bekerja sebagai security di Bank Sumsel. Karena bank tutup pada hari sabtu kami harus mencari Deni kerumahnya.
Berangkat pagi hari membuat kami tak sempat untuk sarapan. Jadi kami putuskan untuk mengisi perut dahulu sebelum ia merajuk dan tak lagi mau diajak kompromi. Makan pagi (pagi atau siang???) disebuah warung nasi padang – belum pernah saya pergi ke suatu daerah tanpa rumah makan padang didalamnya (salut untuk urang minang) – setelah selesai kami berjalan lagi bersama sebuah pesan “kalo mau cari Deni jangan sebut Deni security tapi Deni satpam".
Kami bertemu Deni dijalan menuju rumahnya. Setelah mengutarakan maksud kedatangan kami, Deni bersedia menemani perjalanan kami. Dimulai dari hunting spot-spot bagus untuk foto, ikut kami menginap dibagan untuk memancing sampai ke lokasi dimana burung-burung migran berada. Kami singgah sebentar di kampung-kampung nelayan untuk mengambil foto, lalu mampir disebuah perahu besar yang ternyata berfungsi sebagai toko es batu. Hari pertama disini akan kami isi dengan kegiatan favorit kami, memancing.
Rencananya, besok kami akan ke Solok Buntu, salah satu kawasan dimana burung-burung yang jadi target kami, berkumpul. Dari Solok Buntu sampai pulau Betet – sebuah pulau eksotis karena terdapat banyak kelelawar yang hidup disana, sebuah kawasan yang belum terjamah tangan-tangan rakus manusia – terbentang hutan bakau yang menjadi habitat alami burung-burung migran.
Setelah mendapat es batu, kami langsung berangkat menuju bagan. Ini adalah perjalanan pertama saya ke bagan laut. Ketika speed boat melewati batas antara laut dan sungai – ditandai dengan buih-buih disepanjang batasnya, Allahu Akbar – hawa garam laut menerpa wajah kami, udara segar masuk ke paru-paru kami. Ini baru namanya kehidupan yang sehat, wajah dan bagian tubuh luar mendapat terapi garam – istilah saya – sementara bagian dalam tubuh mendapat jatah udara segar. Pantas saja jika penduduk disini sehat-sehat, mereka bahkan, barangkali, belum perlu dengan dokter.
Kami berkeliling mencari bagan yang dapat kami tumpangi. Ternyata hari ini kami tak begitu beruntung. Semua bagan teri tengah sudah di booking oleh pemancing lain yang telah lebih dahulu datang. Kami kebagian bagan teri pinggir (lumayanlah). Tuan rumah ramah menyambut kami, barang-barang bawaan kami disambut, diangkat dengan tali ke atas bagan.
Petualangan memancing dimulai. Kami sudah tidak sabar lagi. Set-set pancing dibongkar dari tas, lalu kami mulai merangkainya hingga siap dipakai untuk memancing (kak Yudhy la duluan…oi tunggu kak). Umpan-umpan – kami bawa udang dan cumi-cumi – dikeluarkan dari dalam box yang sarat isi dengan es batu. It’s time for fishing.
Kak Yudhy strike (cak elah bahasanya) ikan kerapu seberat satu ons – ha ha ha – lumayanlah sebagai penglaris. Dilanjutkan dengan saya mengangkat ikan yang sama juga dengan berat yang tidak jauh berbeda (weehhhh…kecewa mode ON). Ternyata memang ikan kecil yang sedang banyak berkeliaran dibawah bagan ini. Tapi tunggu dulu, ketika saya melepas kail untuk kesekian kali, umpan disambar oleh ikan besar sebelum kail sampai didasar laut. Oo oo oo dan menahan tali pancing, hanya itu reaksi spontan yang dapat saya berikan untuk ikan besar ini dan huruf O bertebaran dilantai bagan. Kekecewaan kembali menghampiri, karena ketidaksiapan saya dan tali yang terlalu kecil akhirnya kail putus begitu saja (Huff…).
Rasa penasaran menyelimuti, mulai kurangkai pancing dengan tali yang jauh lebih besar, tapi apa mau dikata, keberuntungan saya hanya sebatas itu. Bodo’lah memancing must go on, kami cari kesenangan, menyalurkan hobi, ikan besar hanya bonus bagi kami bukan tujuan sebenarnya.
Ikan besar belum juga singgah ke tempat kami. Sementara perut telah kembali keroncongan. Untunglah kami menyertakan seorang koki dalam perjalanan kami kali ini. Api dinyalakan, sekuali besar air direbus, setelah mendidih bumbu-bumbu dimasukkan bersama ikan dan udang yang telah kami dapat sebelumnya, chef yang satu ini memang paten bin oke – tidak sia-sia kami mem-booking -nya, perlu waktu lama untuk buat janji dengan koki Face Book yang satu ini, tanpa peralatan standar memasak (memangnya kami disini untuk demo memasak), semangkuk besar pindang dihidangkan bersama petai bakar dan nasi hangat (hmm…yummy…makan).
Perut telah terisi, semangat untuk memancing kembali bergelora, kami harus punya cerita seru yang akan diceritakan pada anggota kami yang tidak ikut dalam perjalanan ini. Kalau tidak kami akan pulang dengan kepala tertunduk apalagi kalau badai menghantam bagan yang kami tumpangi, makin keraslah tawa anggota kami, karena mereka telah mewanti-wanti kami, memberi wejangan pada kami agar tidak ke Kilung pada saat angin barat sedang kencang bertiup.
Sore menjelang, sunset telah menampakkan dirinya, jingga mewarnai horizon langit. Saya, Syahrul dan Deni duduk diujung bagan menikmati lukisan alam yang terbentang dihadapan kami. Stik pancing ditangan kami taruh disamping, kami yakin ikan-ikan sedang menikmati suasana senja ini meski mereka telah berulang kali – sepanjang hidup mereka – melihatnya. Shutter kamera pocket dan kamera handphone tidak berhenti ditekan untuk mengabadikan kami ke dalam lukisan alam ini. (pembaca mungkin bosan dengan deskripsi saya tapi memang ini yang sebenarnya, saya kehabisan kata-kata untuk memindahkan lukisan ini ke dalam tulisan).
Sepoi angin laut menerpa membangkitkan rasa kantuk. Kubaringkan tubuh dilantai bagan sementara pancing masih kupegang. Saya memang harus memilih, tidur atau menunggu ikan memakan pancing saya. Kuputuskan untuk istirahat dahulu. Pancing diangkat dan digulung dan sayapun mulai memejamkan mata (terbuai…). Saya dibangunkan untuk supaya pindah kedalam rumah. OMG (oh my god…) ternyata saya tertidut diluar rumah. Hiii, terbayangkan – bahkan didalam mimpi saya tadi yang mendapat ikan besar – jika saya jatuh ke dalam laut sementara saya sama sekali tidak dapat berenang.
Terbangun sekita pukul satu malam, kulihat kak Yudhy sedang ngobrol dengan seorang tuan rumah, saya tidak tahu namanya. Ternyata diluar angin kencang dan hujan rintik sedang bercengkrama. Suara air bergelombang – sepertinya gelombangnya cukup tinggi – dan rumah bagan yang bergoyang membuat saya sedikit kecut (masih takut mati rupanya…ha ha ha). Tapi anehnya kak Yudhy malah mengajak saya tuk kembali memancing. “angin yang membuat air bergelombang, arus laut tidak ikut kencang” kata kak Yudhy. Penjelasan yang masuk akal bagi saya yang ingin menghilangkan rasa takut (wkwkwkwk). Mancing mania is back on stage.
Duduk ditempat yang sama, ikan sudah beberapa kali dari kail kak Yudhy. STRIKE, seekor ikan besar memakan umpan ikan dikail saya. Tarikan ikan ini maut. Stik pancing sampai melengkung hampir ke batas maksimal. Saya tak mau kalah, reel pancing kugulung dan sekuat tenaga kuangkat stik pancingku ke atas. Sedikit demi sedikit tali digulung dan akhirnya seekor kerapu dengan berat kurang lebih satu kilo, diangkat dari habitatnya. That’s whats make me crazy about fishing…it’s thrilling.
Kak Yudhy juga mendapat tangkapan yang bagus, seekor kakap merah. Kak Cecep juga tak mau kalah, seekor kerapu yang lumayan besar menjadi kebanggannya malam ini. Hanya Iyung S Tandjung, seorang pemuda dari kota yang tidak mendapat apa-apa dari laut ini. Wajar saja, Iyung kesini memang hanya untuk numpang istirahat (tidok teruusss…).
Pagi harinya kembali seekor ikan besar menyambar umpan saya (untuk kak Yudhy: percayo samo umpan ikan be kak). Hampir sama dengan kejadian kemarin, ikan menyambar kail bahkan sebelum sampai ke dasar. Kembali kekuatan stik pancing diuji, ikan menarik kail sampai ke dasar dan menahannya disana. Aneh biasanya ikan akan lari berserabutan (tak tahu apakah itu kata yang tepat, maafkan) kali ini setelah menarik ke dasar ikan diam membatu. Saya benar-benar takut stik ini akan patah – semua orang disitu juga berkata yang sama – ketika saya berusaha memaksa ikan untuk naik keatas (ya iyalah keatas, masa’ ke bawah).
Kecurigaan bahwa ikan yang memakan pancing saya adalah ikan pari muncul dari mulut teman-teman lain – yang ikut tegang melihat saya tegang, (helloo…not helping guys, malah ikut-ikutan berpartisipasi dalam tegang) – setelah melihat, merasakan, menganalisi dan menyimpulkan. Setelah beberapa tarik ulur antara saya dan si ikan misterius (saya menarik dia menjulur, lho…) akhirnya, seekor ikan besar lepas lagi dari kail saya. Tangan saya masih gemetar karena adrenalin yang terpacu kencang (puaasss…). Next time fish, next time.
Ikan pari adalah ikan yang menewaskan Steve Irwin, seorang Australian Crocodile Hunter (ahli buaya Australia, kira-kira begitu artinya) dengan sengat ekornya yang sangat beracun.
Kami turun dari bagan setelah mengemasi barang-barang kami, melanjutkan rencana survey kami sekaligus langsung pulang. Sayang sekali, karena kekurangan waktu kami tidak dapat meneruskan perjalanan sampai ke pulau Betet dan, rencana ekspedisi inipun kami batasi sampai ke Tanjung Tengkorak, sebuah nama yang mengintimidasi bukan. Tujuan kami adalah pulau Tengkorak (waaa…takut) lalu menghanyut ke hilir ke Solok Buntu sambil mengamati burung-burung. Setelah sampai ditujuan ternyata speed boat kamipun tidak dapat mendarat. Kami hanya dapat melihat burung-burng itu dari jarak sekitar 350 sampai 450 meter karena sudah masuk area lumpur. speed boat ini dapat kandas kalau kami memaksa untuk lebih dekat ke burung-burung itu.
Untunglah saat air laut surut sehingga kami dapat melihat burung-burung ini mencari makan di daerah pinggiran pantai lumpur. Beberapa jenis burung bangau terlihat mencari makan dalam kelompok-kelompok kecil, sementara burung lainnya juga terlihat asyik menggali lumpur mencari ikan yang mungkin terbenam didalamnya.
Burung-burung kecil – karena masih terbatasnya pengetahuan tentang burung, saya tidak tahu namanya – terbang berkelompok membentuk formasi-formasi cantik seperti angkatan udara yang sedang berlatih tempur atau memeragakan keahlian mengendarai pesawat pada hari jadi angkatan udara (sering melihat di televisi). Menanjak, melayang, belok, mengambang lalu – saya menahan nafas – menukik ke arah air dan kembali terbang ke atas untuk kembali membentuk formasi yang lain.
Burung-burung ini bermigrasi dari Rusia sejak bulan Oktober karena disana telah mulai musim dingin, untuk bertelur, menetaskan dan membesarkan anak-anaknya sampai dapat terbang sendiri. Lalu kembali kesana saat musim dingin berakhir.
Puas mengamati burung, speed boat kami bergulir pulang ke Sungsang. Sesampainya di Sungsang kami mampir ke rumah Deni. Kami masih punya sedikit waktu beristirahat sebelum speed boat menjemput kami pukul satu siang. Waktu ini dimanfaatkan kak Yudhy untuk cari oleh-oleh. Apa mau dikata, tidak semua yang kami cari kami dapatkan. Ikan asin kakap dan udang satang adalah beberapa buruan yang gagal kami dapatkan.
Menjelang jam makan siang, serombongan hidangan menyerbu ruang tamu (kali ini saya tidak minta tolong…he he he). Tiga piring sop cumi-cumi, tiga piring kepiting goreng, dua ekor ikan yang saya tidak tahu namanya masih ditambah lagi dengan tempe goreng dihidangkan bersama sebakul nasi. Dasar tak tahu malu, semua hidangan ini tandas oleh kami. Perut kami kencang, ikat pinggang dikendurkan (huff…fiuuhhh), dan keringat mengalir.
***
Kami sampai di Palembang sekitar pukul setengah empat sore. Sial, kemacetan yang dihasilkan karena SBY berkampanye masih kami rasakan, terutama oleh saya. Tiba di mabes, istirahat lagi sebentar lalu bubar jalan. Pulang ke rumah masing-masing.
Rabu, 01 Juli 2009
Jumat, 03 April 2009
Kamis, 02 April 2009
Selasa, 17 Maret 2009
EKSPEDISI AIR TERJUN 7 PANGGUNG
Ekspedisi Air Terjun 7 Panggung
Musi Ulu, 6 – 9 Maret 2009
Berawal dari keinginan Bupati Empat Lawang, Bapak H Budi Anthoni Al Jufri (HBA), yaitu ingin mengenalkan sekaligus memberdayakan potensi wisata alam yang dimiliki oleh kabupaten Empat Lawang, kabupaten baru hasil pemekaran kabupaten Lahat, acara ekspedisi air terjun tujuh panggung ini dibuat. Keyakinan HBA dengan potensi pariwisata Empat Lawang sangat beralasan, mengingat kabupaten ini berada disekitar bukit barisan, hawa sejuk pegunungan menyelimuti jantung kotanya.
Seperti kota-kota dengan alam pegunungan lainnya, kabupaten Empat Lawang sarat dengan potensi pariwisata dan agrowisata. Selain alamnya, kabupaten ini sudah lebih dahulu dikenal sebagai penghasil buah kopi nomer wahid. Hasil perkebunan sayurannya pun melimpah.
Mudah-mudahan acara ekspedisi ini dapat mewujudkan cita-cita HBA. Yuk kita sukseskan acara ini.
Catatan perjalanan ini juga salah satu follow up dari acara tersebut.
Palembang, 06 – 03 – 2009
23:00 WIB
Setelah kumpul di Sekip Ujung, kantor Tavern Artwork, barang-barang sudah di packing, semuanya sudah siap – berangkat. Jemput kak Nasir di depan lorong rumahnya, terus jemput om Dicky (selanjutnya akan disebut sebagai om Dick) di kantor TVRI Palembang baru jemput kak Arif di rumahnya di Kamboja. Tepat pukul 23:00 WIB kami meluncur.
Tebing Tinggi, 07 – 03 – 2009
05:00 WIB
Tiba pukul lima waktu Tebing Tinggi – di hotel Padang Indah. Ngaso bentar, mandi, bersih-bersih trus berangkat ke Pendopoan – rumah Bupati Empat Lawang – H Budi Anthoni Al Jufri. Setelah Acara pembukaan, kata sambutan, doa, wawancara dengan HBA kami berangkat ke desa Tanjung Alam Kecamatan Lintang Kanan. Suasana ramah, para penduduk yang bakal mendampingi kami selama di sana sudah berkumpul.
Perjalanan dilanjutkan menuju kemah. Tenda kemah ternyata sudah didirikan sebelum kami sampai (syukurlah…) saking antusiasnya penduduk setempat dengan acara ini kami hanya diberi sedikit waktu untuk mengambil nafas panjang setelah lelah berjalan.
Kamipun kembali berparade ria menuju air terjun pertama – pertama atau ke tujuh…??? Belakangan kami tetap bingung mesti menghitung dari mana karena setiap orang punya versi sendiri baik dari urutan tingkatan maupun nama air terjun itu sendiri, catatan: ini tugas Dinas Pariwsata untuk menetapkan nama-nama air terjun tersebut sekaligus memperkenalkannya pada calon wisatawan tentunya – selanjutnya kita sebut saja tingkat pertama – jalan menuju air terjun tingkat pertama ini ternyata baru saja dibuat (secara khusus – untuk kami anggota ekspedisi) jalan tanah, setapak, menanjak, menurun, terjal, mengintimidasi kami yang masih dilanda kelelahan setelah berjalan kurang lebih 10 kilometer (huff…) semak belukar rimbun disisi kiri kami, jangan tertipu setelah disibak dengan kayu panjang akan terlihat sisi miring bukit yang sedang kami telusuri, terjal dan sangat dalam, lebih dari 20 meter kebawah. Keringat membanjir, nafas sudah sampai pada hitungan satu-satu.
Akhirnya kami sampai di air terjun tingkat pertama, Cughup Dasar. Satu per satu anggota menceburkan diri tanpa melepas baju lebih dahulu, brrr…dingin sekaligus segar. Aku sendiri langsung naik bukit menyusul beberapa bapak-bapak yang sudah lebih dahulu sampai di atas.
Setelah puas mengambil foto, saya ditanya (ditantang?) oleh seorang bapak – belakangan saya tahu namanya pak Mael) “mau naek lagi keatas?” (ya iyalah pak, yang namanya naek keatas, mana ada naek kebawah). Aku langsung mengangguk “boleh”. Saya dan tiga orang bapak kembali naik, hanya saja kali ini jalannya sangat menanjak dengan kemiringan sekitar 60 derajat, semangat 45 dan doa orang tua meyertai (apa seeh…).
Sementara anggota yang lain berenang aku hunting foto air terjun tingkat dua, tiga dan seterusnya (maunya…). Ternyata semua keinginan harus berakhir dengan menyerahnya pinggang, paha, lutut dan betisku pada vertical limit. Kecuraman di air terjun tingkat ketiga mencapai 90 derajat (gilaaa…mampus) setelah ritual membungkukkan badan alias minta ampun yang disambut bapak-bapak itu dengan senyum dan tawa.
Raga yang tak pernah diolah dan rokok sebungkus per hari yang terus meracuni ternyata memang berpengaruh pada stamina. Semua organ tubuhku tak mau diajak bekerjasama mereka kompak untuk memboikot segala aktifitas yang ingin kulakukan. Mereka menuntutku untuk segera beristirahat. Akhirnya aku turun bersama bapak-bapak tadi, teman-temanku, anggota team ekspedisi sudah pulang (aku ditinggal…kampret, mereka sama sekali ga kehilangan aku).
Sesampai di tenda, kopi hangat menanti kami. Tapi ada sesuatu yang mengganggu mata di sungai tempat kami mandi, beberapa orang memegang sebatang lidi yang ditusukkan ke balik batu besar. Selidik punya selidik ternyata mereka sedang memancing. Naluri memanggilku untuk bergabung bersama mereka. Setelah banyak bertanya, kupinjam satu set pancing dan mulai memancing. Pengalaman baru buatku, aku biasa memancing disungai, tanjung Apiapi tepatnya. Beberapa menit mencoba akhirnya ikan memakan umpan dikail, seekor ikan tilan – ikan mirip belut – sama seperti belut, ikan ini sangat lincah menggeliat untuk melepaskan diri jika mulutnya tersangkut di kail. Saking kuatnya meliukkan badannya ikan itu lepas dari kailku (yahhh…) tapi aku sudah senang karena berhasil memancing ikan di sungai arus deras.
Malam menjelang, kayu dibakar untuk menghangatkan dari serangan dingin angin malam. Makan malam sudah siap, orang-orang berbagi dalam beberapa kelompok. Obrolan santai mengalir bersama suap demi suap nasi. Setelah makan aku mengajak beberapa teman – uda Re, Ican, om Dicky – kembali ke sungai, mereka setuju dengan usulanku, memancing (walaupun dengan motivasi yang berbeda-beda, hal ini kuketahui esok harinya – motivasinya berhubungan dengan siklus pencernaan), kata penduduk setempat malam hari ikan makan lebih rakus. Larut malam tak capat dicegah, dingin makin menusuk menembus rompi yang kubawa dari Palembang. Kami putuskan untuk berhenti, rasa penasaran akan kami tebus esok hari.
Untuk menahan hawa dingin pegunungan (…atau perbukitan) tirai tenda pun diturunkan. Sebenarnya mata sudah tak mau kompromi, aneh tapi nyata aku tak dapat terlelap. Kalo istilah temanku, cuma sleeping chicken alias tidur ayam. Aku tidak sendiri, kak Enal juga mengalami hal yang sama. Weeh, jadi iri dengan yang lain, yang tidur pulas.
Pagi menjelang, kopi panas dan sarapan menyambut (asyik…), dingin air sungai menyapa (ughh…males). Ucek-ucek mata, lihat kiri kanan, ada yang masih tidur ada yang sudah duduk-duduk sambil menyeruput kopi dan makan ketan, malah ada yang sudah mandi (plok plok plok…tepuk tangan). Ambil handuk, sikat gigi, de el el langsung turun ke sungai (brrrr…)
Selesai sarapan, terus kompromi sebentar. Plan 1: anggota dibagi tiga kelompok, kelompok pertama naik ke bukit lihat air terjun 7 panggung, kelompok selanjutnya survey lokasi arung jeram (rafting), kelompok terakhir melihat sumber air panas. Plan 2: anggota dibagi dua kelompok, pertama naik ke bukit, kedua survey lokasi. Keputusan: Plan kedua diambil.
Tepat pukul 09:00 WIB perjalanan hari kedua dimulai. Aku ikut dikelompok pertama (penasaran…sekaligus menuntaskan hutangku pada bapak-bapak kemarin). Anggota banyak yang berguguran – sebelum berjuang – tinggal aku, Ican dan om Dick serta dayang-dayang cantik yang diimpor langsung dari Pagaralam yang bertahan.
Kesulitan yang sama dengan hari pertama kami lalui, tetap tidak mudah walaupun kemarin sudah pernah ditemui. Speak-speak bentar dengan bapak-bapak yang memandu perjalanan kami, soal apakah dayang-dayang tetap akan ikut sampai ke tingkat yang ke tujuh. Ada yang menentang ada juga yang mengatakan tidak apa-apa. Hanya, mereka harus menempuh jalur kiri yang (dalam tanda kutip) relatif aman.
Akhirnya, demi kelancaran dan keamanan bagi mereka sendiri, diputuskan dayang-dayang tetap tinggal di cughup dasar. Ini juga untuk kepentingan semua umat manusia yang terlibat dalam ekspedisi ini. Ekspedisi ini akan kehilangan warna putihnya jika terjadi apa-apa pada para dayang-dayang impor ini.
The show must go on. Kami – aku, Ican dan om Dick – bertekad harus sampai ke tingkat ke tujuh, perjalanan ekspedisi dilanjutkan, the journey continue…halah.
Aku pikir om Dick akan segera menyerah, sebabnya belum kami tiba di tingkat tiga si om sudah kepayahan. Mulanya kami ingin tetap bersama-sama, naik dijalur yang sama, tapi menimbang kondisi si om kami memutuskan supaya si om naik dari jalur kiri sementara kami melawat dari jalur kanan.
Aku kembali bertemu jurang curam yang kemarin membuat bulu kudukku berdiri, takut. Aku tetap bergeming dengan keputusan kemarin. Biarlah, aku tak mau mati konyol dengan cara terpeleset karena salah menginjak terus tewas karena saat terjatuh kepalaku terantuk batu (hiiii…jangan sampe).
Menginjak tingkat ke empat kami berhadapan dengan medan yang sangat berbahaya, paling berbahaya dalam ekspedisi ini menurutku – bapak-bapak tadi menyeberang tanpa alat bantu – tantangannya berupa aliran deras air terjun ditambah batu licin yang harus kami pijak sementara disisi kanan jurang dalam air terjun menanti kami. Alhamdulillah tantangan ini dapat kami lalui, medan berbahaya ini dapat kami taklukkan, (cheers Can…mari bersulang).
Di tingkat lima, om Dick yang ternyata sudah menunggu disana (salut sama om…). Meski sudah sangat kepayahan, dedikasi om Dick dengan pekerjaannya patut diacungi dua jempol. Dilanda letih yang luar biasa om Dick memaksakan diri menyeret kaki mencari angle-angle bagus untuk filmnya. Sementara om Dick sibuk merekan gemericik suara air terjun, menelusuri alirannya dan merekamnya dalam pita film, kami melanjutkan perjalanan menuju tingkat ke tujuh.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh Waktu Indonesia bagian Barat ketika kami tiba di tingkat ke tujuh yang target kami hari ini. Dua air terjun kembar meluncurkan air secara bersamaan, indah, sangat indah. Tanpa mengecilkan tingkatan-tingkatan sebelumnya, walau mungkin penilaian ini – tak diragukan lagi – terpengaruh oleh rasa capai yang kami rasakan, harus kami akui tingkatan ke tujuh ini punya nilai tersendiri di mata kami. Air terjun ini punya nilai magis. Dua aliran air yang terjun bersamaan ternyata menciptakan pusaran air yang sangat berbahaya, mematikan bagi orang yang tidak hati-hati.
Tidak sabar Ican melepas bajunya dan segera menceburkan diri bergabung bersama bapak-bapak yang sudah lebih dahulu berenang. Sebelumnya tali safety dipasang agar mereka aman dari tarikan pusaran air. Ternyata benar Ican sempat tersedot oleh pusaran air dan ini seterusnya menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik bagi bapak-bapak tadi. Mereka senang karena ketidaktahuan Ican akan pusaran air itu.
Puas main air, tiba saatnya mengisi tenaga, bekal makan siang dibuka, satu per satu nasi bungkus dibagikan. Aku yakin, tidak peduli apapun yang kita akan makan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan semuanya akan terasa nikmat, meski itu hanya nasi putih dan garam. Makan sudah, istirahat sudah, seorang bapak (Abdul Shohih) menawarkan untuk naik lagi (ternyata masih ada dua tingkat air terjun lagi dan sebuah gua walet di atas bukit). Sayang, kami sudah ditunggu berkemas, tujuan selanjutnya melihat sumber air panas tidak dapat dilakukan kalau kami melanjutkan perjalanan ke atas bukit. Jadi aku putuskan untuk pulang.
Kejutan, om Dick menyusul kami (wah tambah salut sama si om). Ya sudah, sementara om Dick shooting air terjun, kami istirahat lagi. Tak lama berselang, om Dick sudah selesai mengambil gambar. Waktunya kami untuk turun. Perbedaan kondisi fisik menyebabkan om Dick tertinggal jauh dari kami. Weleh weleh ternyata sudah banyak remaja di tingkat yang mandi. Padahal akses jalan ke sini baru tiga hari yang lalu dibuka. Usut punya usut ternyata anak-anak SMU ini (kebanyakan anak SMU, ada juga anak SMP) memang dianjurkan oleh guru mereka untuk kesini – mungkin bagian dari pelajaran mencintai alam.
Ketika kami sampai di cughup dasar, suasana sudah sangat ramai. Malah sudah ada yang berjualan disana. Dayang-dayang menunggu kami dengan setia. Entah setia pada kami atau memang tak ada yang berminat pada mereka , para dayang menyambut kedatangan kami. Sambil menunggu kedatangan om Dick kami ngobrol obrolan ringan. Om Dick mencapai garis finish ketika matahari berada tepat di atas kepala (tepuk tangan lagi – gara-gara om Dick telapak tanganku memerah – hehe.
Mission accomplish, misi tercapai kami semua pulang dengan selamat. Gambar dan foto kami dapatkan. Pulang ke kemah dengan hati lega.
Musi Ulu, 6 – 9 Maret 2009
Berawal dari keinginan Bupati Empat Lawang, Bapak H Budi Anthoni Al Jufri (HBA), yaitu ingin mengenalkan sekaligus memberdayakan potensi wisata alam yang dimiliki oleh kabupaten Empat Lawang, kabupaten baru hasil pemekaran kabupaten Lahat, acara ekspedisi air terjun tujuh panggung ini dibuat. Keyakinan HBA dengan potensi pariwisata Empat Lawang sangat beralasan, mengingat kabupaten ini berada disekitar bukit barisan, hawa sejuk pegunungan menyelimuti jantung kotanya.
Seperti kota-kota dengan alam pegunungan lainnya, kabupaten Empat Lawang sarat dengan potensi pariwisata dan agrowisata. Selain alamnya, kabupaten ini sudah lebih dahulu dikenal sebagai penghasil buah kopi nomer wahid. Hasil perkebunan sayurannya pun melimpah.
Mudah-mudahan acara ekspedisi ini dapat mewujudkan cita-cita HBA. Yuk kita sukseskan acara ini.
Catatan perjalanan ini juga salah satu follow up dari acara tersebut.
Palembang, 06 – 03 – 2009
23:00 WIB
Setelah kumpul di Sekip Ujung, kantor Tavern Artwork, barang-barang sudah di packing, semuanya sudah siap – berangkat. Jemput kak Nasir di depan lorong rumahnya, terus jemput om Dicky (selanjutnya akan disebut sebagai om Dick) di kantor TVRI Palembang baru jemput kak Arif di rumahnya di Kamboja. Tepat pukul 23:00 WIB kami meluncur.
Tebing Tinggi, 07 – 03 – 2009
05:00 WIB
Tiba pukul lima waktu Tebing Tinggi – di hotel Padang Indah. Ngaso bentar, mandi, bersih-bersih trus berangkat ke Pendopoan – rumah Bupati Empat Lawang – H Budi Anthoni Al Jufri. Setelah Acara pembukaan, kata sambutan, doa, wawancara dengan HBA kami berangkat ke desa Tanjung Alam Kecamatan Lintang Kanan. Suasana ramah, para penduduk yang bakal mendampingi kami selama di sana sudah berkumpul.
Perjalanan dilanjutkan menuju kemah. Tenda kemah ternyata sudah didirikan sebelum kami sampai (syukurlah…) saking antusiasnya penduduk setempat dengan acara ini kami hanya diberi sedikit waktu untuk mengambil nafas panjang setelah lelah berjalan.
Kamipun kembali berparade ria menuju air terjun pertama – pertama atau ke tujuh…??? Belakangan kami tetap bingung mesti menghitung dari mana karena setiap orang punya versi sendiri baik dari urutan tingkatan maupun nama air terjun itu sendiri, catatan: ini tugas Dinas Pariwsata untuk menetapkan nama-nama air terjun tersebut sekaligus memperkenalkannya pada calon wisatawan tentunya – selanjutnya kita sebut saja tingkat pertama – jalan menuju air terjun tingkat pertama ini ternyata baru saja dibuat (secara khusus – untuk kami anggota ekspedisi) jalan tanah, setapak, menanjak, menurun, terjal, mengintimidasi kami yang masih dilanda kelelahan setelah berjalan kurang lebih 10 kilometer (huff…) semak belukar rimbun disisi kiri kami, jangan tertipu setelah disibak dengan kayu panjang akan terlihat sisi miring bukit yang sedang kami telusuri, terjal dan sangat dalam, lebih dari 20 meter kebawah. Keringat membanjir, nafas sudah sampai pada hitungan satu-satu.
Akhirnya kami sampai di air terjun tingkat pertama, Cughup Dasar. Satu per satu anggota menceburkan diri tanpa melepas baju lebih dahulu, brrr…dingin sekaligus segar. Aku sendiri langsung naik bukit menyusul beberapa bapak-bapak yang sudah lebih dahulu sampai di atas.
Setelah puas mengambil foto, saya ditanya (ditantang?) oleh seorang bapak – belakangan saya tahu namanya pak Mael) “mau naek lagi keatas?” (ya iyalah pak, yang namanya naek keatas, mana ada naek kebawah). Aku langsung mengangguk “boleh”. Saya dan tiga orang bapak kembali naik, hanya saja kali ini jalannya sangat menanjak dengan kemiringan sekitar 60 derajat, semangat 45 dan doa orang tua meyertai (apa seeh…).
Sementara anggota yang lain berenang aku hunting foto air terjun tingkat dua, tiga dan seterusnya (maunya…). Ternyata semua keinginan harus berakhir dengan menyerahnya pinggang, paha, lutut dan betisku pada vertical limit. Kecuraman di air terjun tingkat ketiga mencapai 90 derajat (gilaaa…mampus) setelah ritual membungkukkan badan alias minta ampun yang disambut bapak-bapak itu dengan senyum dan tawa.
Raga yang tak pernah diolah dan rokok sebungkus per hari yang terus meracuni ternyata memang berpengaruh pada stamina. Semua organ tubuhku tak mau diajak bekerjasama mereka kompak untuk memboikot segala aktifitas yang ingin kulakukan. Mereka menuntutku untuk segera beristirahat. Akhirnya aku turun bersama bapak-bapak tadi, teman-temanku, anggota team ekspedisi sudah pulang (aku ditinggal…kampret, mereka sama sekali ga kehilangan aku).
Sesampai di tenda, kopi hangat menanti kami. Tapi ada sesuatu yang mengganggu mata di sungai tempat kami mandi, beberapa orang memegang sebatang lidi yang ditusukkan ke balik batu besar. Selidik punya selidik ternyata mereka sedang memancing. Naluri memanggilku untuk bergabung bersama mereka. Setelah banyak bertanya, kupinjam satu set pancing dan mulai memancing. Pengalaman baru buatku, aku biasa memancing disungai, tanjung Apiapi tepatnya. Beberapa menit mencoba akhirnya ikan memakan umpan dikail, seekor ikan tilan – ikan mirip belut – sama seperti belut, ikan ini sangat lincah menggeliat untuk melepaskan diri jika mulutnya tersangkut di kail. Saking kuatnya meliukkan badannya ikan itu lepas dari kailku (yahhh…) tapi aku sudah senang karena berhasil memancing ikan di sungai arus deras.
Malam menjelang, kayu dibakar untuk menghangatkan dari serangan dingin angin malam. Makan malam sudah siap, orang-orang berbagi dalam beberapa kelompok. Obrolan santai mengalir bersama suap demi suap nasi. Setelah makan aku mengajak beberapa teman – uda Re, Ican, om Dicky – kembali ke sungai, mereka setuju dengan usulanku, memancing (walaupun dengan motivasi yang berbeda-beda, hal ini kuketahui esok harinya – motivasinya berhubungan dengan siklus pencernaan), kata penduduk setempat malam hari ikan makan lebih rakus. Larut malam tak capat dicegah, dingin makin menusuk menembus rompi yang kubawa dari Palembang. Kami putuskan untuk berhenti, rasa penasaran akan kami tebus esok hari.
Untuk menahan hawa dingin pegunungan (…atau perbukitan) tirai tenda pun diturunkan. Sebenarnya mata sudah tak mau kompromi, aneh tapi nyata aku tak dapat terlelap. Kalo istilah temanku, cuma sleeping chicken alias tidur ayam. Aku tidak sendiri, kak Enal juga mengalami hal yang sama. Weeh, jadi iri dengan yang lain, yang tidur pulas.
Pagi menjelang, kopi panas dan sarapan menyambut (asyik…), dingin air sungai menyapa (ughh…males). Ucek-ucek mata, lihat kiri kanan, ada yang masih tidur ada yang sudah duduk-duduk sambil menyeruput kopi dan makan ketan, malah ada yang sudah mandi (plok plok plok…tepuk tangan). Ambil handuk, sikat gigi, de el el langsung turun ke sungai (brrrr…)
Selesai sarapan, terus kompromi sebentar. Plan 1: anggota dibagi tiga kelompok, kelompok pertama naik ke bukit lihat air terjun 7 panggung, kelompok selanjutnya survey lokasi arung jeram (rafting), kelompok terakhir melihat sumber air panas. Plan 2: anggota dibagi dua kelompok, pertama naik ke bukit, kedua survey lokasi. Keputusan: Plan kedua diambil.
Tepat pukul 09:00 WIB perjalanan hari kedua dimulai. Aku ikut dikelompok pertama (penasaran…sekaligus menuntaskan hutangku pada bapak-bapak kemarin). Anggota banyak yang berguguran – sebelum berjuang – tinggal aku, Ican dan om Dick serta dayang-dayang cantik yang diimpor langsung dari Pagaralam yang bertahan.
Kesulitan yang sama dengan hari pertama kami lalui, tetap tidak mudah walaupun kemarin sudah pernah ditemui. Speak-speak bentar dengan bapak-bapak yang memandu perjalanan kami, soal apakah dayang-dayang tetap akan ikut sampai ke tingkat yang ke tujuh. Ada yang menentang ada juga yang mengatakan tidak apa-apa. Hanya, mereka harus menempuh jalur kiri yang (dalam tanda kutip) relatif aman.
Akhirnya, demi kelancaran dan keamanan bagi mereka sendiri, diputuskan dayang-dayang tetap tinggal di cughup dasar. Ini juga untuk kepentingan semua umat manusia yang terlibat dalam ekspedisi ini. Ekspedisi ini akan kehilangan warna putihnya jika terjadi apa-apa pada para dayang-dayang impor ini.
The show must go on. Kami – aku, Ican dan om Dick – bertekad harus sampai ke tingkat ke tujuh, perjalanan ekspedisi dilanjutkan, the journey continue…halah.
Aku pikir om Dick akan segera menyerah, sebabnya belum kami tiba di tingkat tiga si om sudah kepayahan. Mulanya kami ingin tetap bersama-sama, naik dijalur yang sama, tapi menimbang kondisi si om kami memutuskan supaya si om naik dari jalur kiri sementara kami melawat dari jalur kanan.
Aku kembali bertemu jurang curam yang kemarin membuat bulu kudukku berdiri, takut. Aku tetap bergeming dengan keputusan kemarin. Biarlah, aku tak mau mati konyol dengan cara terpeleset karena salah menginjak terus tewas karena saat terjatuh kepalaku terantuk batu (hiiii…jangan sampe).
Menginjak tingkat ke empat kami berhadapan dengan medan yang sangat berbahaya, paling berbahaya dalam ekspedisi ini menurutku – bapak-bapak tadi menyeberang tanpa alat bantu – tantangannya berupa aliran deras air terjun ditambah batu licin yang harus kami pijak sementara disisi kanan jurang dalam air terjun menanti kami. Alhamdulillah tantangan ini dapat kami lalui, medan berbahaya ini dapat kami taklukkan, (cheers Can…mari bersulang).
Di tingkat lima, om Dick yang ternyata sudah menunggu disana (salut sama om…). Meski sudah sangat kepayahan, dedikasi om Dick dengan pekerjaannya patut diacungi dua jempol. Dilanda letih yang luar biasa om Dick memaksakan diri menyeret kaki mencari angle-angle bagus untuk filmnya. Sementara om Dick sibuk merekan gemericik suara air terjun, menelusuri alirannya dan merekamnya dalam pita film, kami melanjutkan perjalanan menuju tingkat ke tujuh.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh Waktu Indonesia bagian Barat ketika kami tiba di tingkat ke tujuh yang target kami hari ini. Dua air terjun kembar meluncurkan air secara bersamaan, indah, sangat indah. Tanpa mengecilkan tingkatan-tingkatan sebelumnya, walau mungkin penilaian ini – tak diragukan lagi – terpengaruh oleh rasa capai yang kami rasakan, harus kami akui tingkatan ke tujuh ini punya nilai tersendiri di mata kami. Air terjun ini punya nilai magis. Dua aliran air yang terjun bersamaan ternyata menciptakan pusaran air yang sangat berbahaya, mematikan bagi orang yang tidak hati-hati.
Tidak sabar Ican melepas bajunya dan segera menceburkan diri bergabung bersama bapak-bapak yang sudah lebih dahulu berenang. Sebelumnya tali safety dipasang agar mereka aman dari tarikan pusaran air. Ternyata benar Ican sempat tersedot oleh pusaran air dan ini seterusnya menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik bagi bapak-bapak tadi. Mereka senang karena ketidaktahuan Ican akan pusaran air itu.
Puas main air, tiba saatnya mengisi tenaga, bekal makan siang dibuka, satu per satu nasi bungkus dibagikan. Aku yakin, tidak peduli apapun yang kita akan makan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan semuanya akan terasa nikmat, meski itu hanya nasi putih dan garam. Makan sudah, istirahat sudah, seorang bapak (Abdul Shohih) menawarkan untuk naik lagi (ternyata masih ada dua tingkat air terjun lagi dan sebuah gua walet di atas bukit). Sayang, kami sudah ditunggu berkemas, tujuan selanjutnya melihat sumber air panas tidak dapat dilakukan kalau kami melanjutkan perjalanan ke atas bukit. Jadi aku putuskan untuk pulang.
Kejutan, om Dick menyusul kami (wah tambah salut sama si om). Ya sudah, sementara om Dick shooting air terjun, kami istirahat lagi. Tak lama berselang, om Dick sudah selesai mengambil gambar. Waktunya kami untuk turun. Perbedaan kondisi fisik menyebabkan om Dick tertinggal jauh dari kami. Weleh weleh ternyata sudah banyak remaja di tingkat yang mandi. Padahal akses jalan ke sini baru tiga hari yang lalu dibuka. Usut punya usut ternyata anak-anak SMU ini (kebanyakan anak SMU, ada juga anak SMP) memang dianjurkan oleh guru mereka untuk kesini – mungkin bagian dari pelajaran mencintai alam.
Ketika kami sampai di cughup dasar, suasana sudah sangat ramai. Malah sudah ada yang berjualan disana. Dayang-dayang menunggu kami dengan setia. Entah setia pada kami atau memang tak ada yang berminat pada mereka , para dayang menyambut kedatangan kami. Sambil menunggu kedatangan om Dick kami ngobrol obrolan ringan. Om Dick mencapai garis finish ketika matahari berada tepat di atas kepala (tepuk tangan lagi – gara-gara om Dick telapak tanganku memerah – hehe.
Mission accomplish, misi tercapai kami semua pulang dengan selamat. Gambar dan foto kami dapatkan. Pulang ke kemah dengan hati lega.
Jumat, 09 Januari 2009
Selasa, 09 Desember 2008
Counting down tahun ini hampir berakhir. tapi apa pencapaian yang telah aku capai sampai saat ini. NOL BESAR, walau aku tak pernah menargetkan sesuatu bagi diriku yang membuatku terikat pada janji dan selanjutnya terbatasi gerak langkah. dengan begitu aku juga tak punya tujuan yang jelas. Big Question dalam kepalaku adalah apa yang sebenarnya aku cari???
Langganan:
Postingan (Atom)