Selasa, 17 Maret 2009

EKSPEDISI AIR TERJUN 7 PANGGUNG

Ekspedisi Air Terjun 7 Panggung
Musi Ulu, 6 – 9 Maret 2009


Berawal dari keinginan Bupati Empat Lawang, Bapak H Budi Anthoni Al Jufri (HBA), yaitu ingin mengenalkan sekaligus memberdayakan potensi wisata alam yang dimiliki oleh kabupaten Empat Lawang, kabupaten baru hasil pemekaran kabupaten Lahat, acara ekspedisi air terjun tujuh panggung ini dibuat. Keyakinan HBA dengan potensi pariwisata Empat Lawang sangat beralasan, mengingat kabupaten ini berada disekitar bukit barisan, hawa sejuk pegunungan menyelimuti jantung kotanya.

Seperti kota-kota dengan alam pegunungan lainnya, kabupaten Empat Lawang sarat dengan potensi pariwisata dan agrowisata. Selain alamnya, kabupaten ini sudah lebih dahulu dikenal sebagai penghasil buah kopi nomer wahid. Hasil perkebunan sayurannya pun melimpah.

Mudah-mudahan acara ekspedisi ini dapat mewujudkan cita-cita HBA. Yuk kita sukseskan acara ini.

Catatan perjalanan ini juga salah satu
follow up dari acara tersebut.


Palembang, 06 – 03 – 2009
23:00 WIB

Setelah kumpul di Sekip Ujung, kantor Tavern Artwork, barang-barang sudah di
packing, semuanya sudah siap – berangkat. Jemput kak Nasir di depan lorong rumahnya, terus jemput om Dicky (selanjutnya akan disebut sebagai om Dick) di kantor TVRI Palembang baru jemput kak Arif di rumahnya di Kamboja. Tepat pukul 23:00 WIB kami meluncur.


Tebing Tinggi, 07 – 03 – 2009
05:00 WIB

Tiba pukul lima waktu Tebing Tinggi – di hotel Padang Indah. Ngaso bentar, mandi, bersih-bersih trus berangkat ke Pendopoan – rumah Bupati Empat Lawang – H Budi Anthoni Al Jufri. Setelah Acara pembukaan, kata sambutan, doa, wawancara dengan HBA kami berangkat ke desa Tanjung Alam Kecamatan Lintang Kanan. Suasana ramah, para penduduk yang bakal mendampingi kami selama di sana sudah berkumpul.

Perjalanan dilanjutkan menuju kemah. Tenda kemah ternyata sudah didirikan sebelum kami sampai (syukurlah…) saking antusiasnya penduduk setempat dengan acara ini kami hanya diberi sedikit waktu untuk mengambil nafas panjang setelah lelah berjalan.

Kamipun kembali berparade ria menuju air terjun pertama – pertama atau ke tujuh…??? Belakangan kami tetap bingung mesti menghitung dari mana karena setiap orang punya versi sendiri baik dari urutan tingkatan maupun nama air terjun itu sendiri, catatan: ini tugas Dinas Pariwsata untuk menetapkan nama-nama air terjun tersebut sekaligus memperkenalkannya pada calon wisatawan tentunya – selanjutnya kita sebut saja tingkat pertama – jalan menuju air terjun tingkat pertama ini ternyata baru saja dibuat (secara khusus – untuk kami anggota ekspedisi) jalan tanah, setapak, menanjak, menurun, terjal, mengintimidasi kami yang masih dilanda kelelahan setelah berjalan kurang lebih 10 kilometer (huff…) semak belukar rimbun disisi kiri kami, jangan tertipu setelah disibak dengan kayu panjang akan terlihat sisi miring bukit yang sedang kami telusuri, terjal dan sangat dalam, lebih dari 20 meter kebawah. Keringat membanjir, nafas sudah sampai pada hitungan satu-satu.

Akhirnya kami sampai di air terjun tingkat pertama, Cughup Dasar. Satu per satu anggota menceburkan diri tanpa melepas baju lebih dahulu, brrr…dingin sekaligus segar. Aku sendiri langsung naik bukit menyusul beberapa bapak-bapak yang sudah lebih dahulu sampai di atas.

Setelah puas mengambil foto, saya ditanya (ditantang?) oleh seorang bapak – belakangan saya tahu namanya pak Mael) “mau naek lagi keatas?” (ya iyalah pak, yang namanya naek keatas, mana ada naek kebawah). Aku langsung mengangguk “boleh”. Saya dan tiga orang bapak kembali naik, hanya saja kali ini jalannya sangat menanjak dengan kemiringan sekitar 60 derajat, semangat 45 dan doa orang tua meyertai (apa seeh…).

Sementara anggota yang lain berenang aku
hunting foto air terjun tingkat dua, tiga dan seterusnya (maunya…). Ternyata semua keinginan harus berakhir dengan menyerahnya pinggang, paha, lutut dan betisku pada vertical limit. Kecuraman di air terjun tingkat ketiga mencapai 90 derajat (gilaaa…mampus) setelah ritual membungkukkan badan alias minta ampun yang disambut bapak-bapak itu dengan senyum dan tawa.

Raga yang tak pernah diolah dan rokok sebungkus per hari yang terus meracuni ternyata memang berpengaruh pada stamina. Semua organ tubuhku tak mau diajak bekerjasama mereka kompak untuk memboikot segala aktifitas yang ingin kulakukan. Mereka menuntutku untuk segera beristirahat. Akhirnya aku turun bersama bapak-bapak tadi, teman-temanku, anggota team ekspedisi sudah pulang (aku ditinggal…kampret, mereka sama sekali ga kehilangan aku).

Sesampai di tenda, kopi hangat menanti kami. Tapi ada sesuatu yang mengganggu mata di sungai tempat kami mandi, beberapa orang memegang sebatang lidi yang ditusukkan ke balik batu besar. Selidik punya selidik ternyata mereka sedang memancing. Naluri memanggilku untuk bergabung bersama mereka. Setelah banyak bertanya, kupinjam satu set pancing dan mulai memancing. Pengalaman baru buatku, aku biasa memancing disungai, tanjung Apiapi tepatnya. Beberapa menit mencoba akhirnya ikan memakan umpan dikail, seekor ikan tilan – ikan mirip belut – sama seperti belut, ikan ini sangat lincah menggeliat untuk melepaskan diri jika mulutnya tersangkut di kail. Saking kuatnya meliukkan badannya ikan itu lepas dari kailku (yahhh…) tapi aku sudah senang karena berhasil memancing ikan di sungai arus deras.

Malam menjelang, kayu dibakar untuk menghangatkan dari serangan dingin angin malam. Makan malam sudah siap, orang-orang berbagi dalam beberapa kelompok. Obrolan santai mengalir bersama suap demi suap nasi. Setelah makan aku mengajak beberapa teman – uda Re, Ican, om Dicky – kembali ke sungai, mereka setuju dengan usulanku, memancing (walaupun dengan motivasi yang berbeda-beda, hal ini kuketahui esok harinya – motivasinya berhubungan dengan siklus pencernaan), kata penduduk setempat malam hari ikan makan lebih rakus. Larut malam tak capat dicegah, dingin makin menusuk menembus rompi yang kubawa dari Palembang. Kami putuskan untuk berhenti, rasa penasaran akan kami tebus esok hari.

Untuk menahan hawa dingin pegunungan (…atau perbukitan) tirai tenda pun diturunkan. Sebenarnya mata sudah tak mau kompromi, aneh tapi nyata aku tak dapat terlelap. Kalo istilah temanku, cuma
sleeping chicken alias tidur ayam. Aku tidak sendiri, kak Enal juga mengalami hal yang sama. Weeh, jadi iri dengan yang lain, yang tidur pulas.

Pagi menjelang, kopi panas dan sarapan menyambut (asyik…), dingin air sungai menyapa (ughh…males). Ucek-ucek mata, lihat kiri kanan, ada yang masih tidur ada yang sudah duduk-duduk sambil menyeruput kopi dan makan ketan, malah ada yang sudah mandi (plok plok plok…tepuk tangan). Ambil handuk, sikat gigi, de el el langsung turun ke sungai (brrrr…)

Selesai sarapan, terus kompromi sebentar.
Plan 1: anggota dibagi tiga kelompok, kelompok pertama naik ke bukit lihat air terjun 7 panggung, kelompok selanjutnya survey lokasi arung jeram (rafting), kelompok terakhir melihat sumber air panas. Plan 2: anggota dibagi dua kelompok, pertama naik ke bukit, kedua survey lokasi. Keputusan: Plan kedua diambil.

Tepat pukul 09:00 WIB perjalanan hari kedua dimulai. Aku ikut dikelompok pertama (penasaran…sekaligus menuntaskan hutangku pada bapak-bapak kemarin). Anggota banyak yang berguguran – sebelum berjuang  – tinggal aku, Ican dan om Dick serta dayang-dayang cantik yang diimpor langsung dari Pagaralam yang bertahan.

Kesulitan yang sama dengan hari pertama kami lalui, tetap tidak mudah walaupun kemarin sudah pernah ditemui.
Speak-speak bentar dengan bapak-bapak yang memandu perjalanan kami, soal apakah dayang-dayang tetap akan ikut sampai ke tingkat yang ke tujuh. Ada yang menentang ada juga yang mengatakan tidak apa-apa. Hanya, mereka harus menempuh jalur kiri yang (dalam tanda kutip) relatif aman.

Akhirnya, demi kelancaran dan keamanan bagi mereka sendiri, diputuskan dayang-dayang tetap tinggal di cughup dasar. Ini juga untuk kepentingan semua umat manusia yang terlibat dalam ekspedisi ini. Ekspedisi ini akan kehilangan warna putihnya jika terjadi apa-apa pada para dayang-dayang impor ini.

The show must go on. Kami – aku, Ican dan om Dick – bertekad harus sampai ke tingkat ke tujuh, perjalanan ekspedisi dilanjutkan, the journey continue…halah.
Aku pikir om Dick akan segera menyerah, sebabnya belum kami tiba di tingkat tiga si om sudah kepayahan. Mulanya kami ingin tetap bersama-sama, naik dijalur yang sama, tapi menimbang kondisi si om kami memutuskan supaya si om naik dari jalur kiri sementara kami melawat dari jalur kanan.

Aku kembali bertemu jurang curam yang kemarin membuat bulu kudukku berdiri, takut. Aku tetap bergeming dengan keputusan kemarin. Biarlah, aku tak mau mati konyol dengan cara terpeleset karena salah menginjak terus tewas karena saat terjatuh kepalaku terantuk batu (hiiii…jangan sampe).

Menginjak tingkat ke empat kami berhadapan dengan medan yang sangat berbahaya, paling berbahaya dalam ekspedisi ini menurutku – bapak-bapak tadi menyeberang tanpa alat bantu – tantangannya berupa aliran deras air terjun ditambah batu licin yang harus kami pijak sementara disisi kanan jurang dalam air terjun menanti kami. Alhamdulillah tantangan ini dapat kami lalui, medan berbahaya ini dapat kami taklukkan, (
cheers Can…mari bersulang).

Di tingkat lima, om Dick yang ternyata sudah menunggu disana (salut sama om…). Meski sudah sangat kepayahan, dedikasi om Dick dengan pekerjaannya patut diacungi dua jempol. Dilanda letih yang luar biasa om Dick memaksakan diri menyeret kaki mencari
angle-angle bagus untuk filmnya. Sementara om Dick sibuk merekan gemericik suara air terjun, menelusuri alirannya dan merekamnya dalam pita film, kami melanjutkan perjalanan menuju tingkat ke tujuh.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh Waktu Indonesia bagian Barat ketika kami tiba di tingkat ke tujuh yang target kami hari ini. Dua air terjun kembar meluncurkan air secara bersamaan, indah, sangat indah. Tanpa mengecilkan tingkatan-tingkatan sebelumnya, walau mungkin penilaian ini – tak diragukan lagi – terpengaruh oleh rasa capai yang kami rasakan, harus kami akui tingkatan ke tujuh ini punya nilai tersendiri di mata kami. Air terjun ini punya nilai magis. Dua aliran air yang terjun bersamaan ternyata menciptakan pusaran air yang sangat berbahaya, mematikan bagi orang yang tidak hati-hati.

Tidak sabar Ican melepas bajunya dan segera menceburkan diri bergabung bersama bapak-bapak yang sudah lebih dahulu berenang. Sebelumnya tali
safety dipasang agar mereka aman dari tarikan pusaran air. Ternyata benar Ican sempat tersedot oleh pusaran air dan ini seterusnya menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik bagi bapak-bapak tadi. Mereka senang karena ketidaktahuan Ican akan pusaran air itu.
Puas main air, tiba saatnya mengisi tenaga, bekal makan siang dibuka, satu per satu nasi bungkus dibagikan. Aku yakin, tidak peduli apapun yang kita akan makan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan semuanya akan terasa nikmat, meski itu hanya nasi putih dan garam. Makan sudah, istirahat sudah, seorang bapak (Abdul Shohih) menawarkan untuk naik lagi (ternyata masih ada dua tingkat air terjun lagi dan sebuah gua walet di atas bukit). Sayang, kami sudah ditunggu berkemas, tujuan selanjutnya melihat sumber air panas tidak dapat dilakukan kalau kami melanjutkan perjalanan ke atas bukit. Jadi aku putuskan untuk pulang.

Kejutan, om Dick menyusul kami (wah tambah salut sama si om). Ya sudah, sementara om Dick
shooting air terjun, kami istirahat lagi. Tak lama berselang, om Dick sudah selesai mengambil gambar. Waktunya kami untuk turun. Perbedaan kondisi fisik menyebabkan om Dick tertinggal jauh dari kami. Weleh weleh ternyata sudah banyak remaja di tingkat yang mandi. Padahal akses jalan ke sini baru tiga hari yang lalu dibuka. Usut punya usut ternyata anak-anak SMU ini (kebanyakan anak SMU, ada juga anak SMP) memang dianjurkan oleh guru mereka untuk kesini – mungkin bagian dari pelajaran mencintai alam.

Ketika kami sampai di cughup dasar, suasana sudah sangat ramai. Malah sudah ada yang berjualan disana. Dayang-dayang menunggu kami dengan setia. Entah setia pada kami atau memang tak ada yang berminat pada mereka , para dayang menyambut kedatangan kami. Sambil menunggu kedatangan om Dick kami ngobrol obrolan ringan. Om Dick mencapai garis finish ketika matahari berada tepat di atas kepala (tepuk tangan lagi – gara-gara om Dick telapak tanganku memerah – hehe.

Mission accomplish, misi tercapai kami semua pulang dengan selamat. Gambar dan foto kami dapatkan. Pulang ke kemah dengan hati lega.