Rabu, 01 Juli 2009

Catatan Perjalanan Survey Lokasi Sungsang

Kembali saya menulis catatan perjalanan (semoga dapat bermanfaat bagi yang lain). Catatan ini menguraikan perjalanan saya ketika survey lokasi di Sungsang. Sebuah kota air, Venice of South Sumatera Venice of South Sumatera, yang termasuk dalan kawasan kabupaten Banyuasin.

Kami berangkat dengan cara dijemput oleh sebuah mobil yang rencananya akan membawa kami ke parit lima. Nama sebuah sungai kecil yang bersambungan langsung dengan sungai besar aliran sungai Musi menuju Sungsang. Sungai ini dapat dimasuki hanya pada saat ketika air sungai sedang pasang. Tempat ini belum pernah kami datangi karena sebelumnya, paling jauh kami sampai di jembatan PU. Jalan rata bebatuan koral belum diaspal yang rencananya sampai ke tanjung Apiapi.

Kurang lebih satu jam kami tiba ditujuan. Sebuah warung kopi menjadi tempat transit yang pas untuk calon penumpang yang hendak menuju Sungsang. Tidak lama menunggu setelah menaikkan barang-barang bawaan, kami berangkat dengan speed boat. Terkejut, tidak sampai atau kurang lebih lima belas menit kami telah tiba di Sungsang. Sangat jauh memotong jam perjalanan jika kami berangkat dari Benteng Kuto Besak (BKB), biasanya perjalanan dari BKB menuju Sungsang dengan speed boat memakan waktu dua jam. Waktu ditabung untuk kami.

Kota ini berada di pinggir muara laut, yang (tentu saja) sarat dengan kehidupan bahari tentunya. Pemandangan kapal-kapal penangkap ikan – dari ukuran besar sampai yang kecil – dengan layar yang masih terlipat parkir di dermaga rumah penduduk, speed boat, jaring ikan, tonggak-tonggak kayu nibung sebagai tiang rumah sampai hamparan ikan asin yang sedang dijemur menjadi pemandangan baru bagi saya.

Pusat kota ini terbentang lurus dari ulu ke ilir. Beragam aktifitas baru yang tidak ditemui di Palembang saya temui disini. Bapak-bapak yang sedang menyulam jaring, memperbaikinya setelah koyak disana-sini akibat diseret kapal atau diterjang oleh ikan besar (hiu barangkali…siapa tahu).

Ibu-ibu berkumpul di sebuah bangunan beratap tanpa dinding – digunakan juga oleh bapak-bapak dan anak muda berkumpul untuk sekedar melepas lelah atau sarana masyarakat kota ini bersosialisasi – sambil bersenda gurau mengiris adonan bulat lonjong mirip pempek setengah kering tapi berwarna merah jambu menjadi irisan tipis-tipis, ini adalah pabrik pembuatan kerupuk udang. Kerupuk udang buatan Sungsang telah kondang ke seluruh daratan Sumsel, terutama Palembang.

Sebuah pabrik lain berdiri tak jauh dari sana, sedikit masuk lorong mengarah ke sungai, bapak-bapak yang sedang merebus ikan dan udang, memprosesnya menjadi ikan asin dan belacan atau terasi (caluk, kalo kato wong Palembang). Sebuah wadah (terbuat dari drum yang dipotong menjadi dua) menjadi media untuk memasak udang tersebut.

Sementara disisi sungai bapak-bapak dan anak-anak muda memperbaiki kapal-kapal mereka, memukul, mengecat, dan mendempul. Ada yang istirahat setelah lelah beberapa hari melaut. Ada pula yang melepas kail ke sungai sekedar iseng mengisi waktu, siapa tahu dewi fortuna sedang baik padanya, ikan besar akan menghampiri dan menangkap umpan di kail. Makan malam pun tak hanya dengan garam (mmm…).

Oh ya, ada satu lagi pemandangan – yang bagi saya cukup aneh – lain disini, yaitu disini babi celeng hidup damai bersama penduduk. Mereka mencari makan dibawah rumah-rumah penduduk tanpa ada gangguan dari orang-orang yang tinggal diatasnya. Penduduk disini bahkan akan marah kalau kita mengganggu babi-babi itu. (beginilah seharusnya hidup, damai dengan semua mahluk ciptaan tuhan)

Pertama-tama kami mencari seorang teman yang juga bekerja sebagai security di Bank Sumsel. Karena bank tutup pada hari sabtu kami harus mencari Deni kerumahnya.

Berangkat pagi hari membuat kami tak sempat untuk sarapan. Jadi kami putuskan untuk mengisi perut dahulu sebelum ia merajuk dan tak lagi mau diajak kompromi. Makan pagi (pagi atau siang???) disebuah warung nasi padang – belum pernah saya pergi ke suatu daerah tanpa rumah makan padang didalamnya (salut untuk urang minang) – setelah selesai kami berjalan lagi bersama sebuah pesan “kalo mau cari Deni jangan sebut Deni security tapi Deni satpam".

Kami bertemu Deni dijalan menuju rumahnya. Setelah mengutarakan maksud kedatangan kami, Deni bersedia menemani perjalanan kami. Dimulai dari hunting spot-spot bagus untuk foto, ikut kami menginap dibagan untuk memancing sampai ke lokasi dimana burung-burung migran berada. Kami singgah sebentar di kampung-kampung nelayan untuk mengambil foto, lalu mampir disebuah perahu besar yang ternyata berfungsi sebagai toko es batu. Hari pertama disini akan kami isi dengan kegiatan favorit kami, memancing.

Rencananya, besok kami akan ke Solok Buntu, salah satu kawasan dimana burung-burung yang jadi target kami, berkumpul. Dari Solok Buntu sampai pulau Betet – sebuah pulau eksotis karena terdapat banyak kelelawar yang hidup disana, sebuah kawasan yang belum terjamah tangan-tangan rakus manusia – terbentang hutan bakau yang menjadi habitat alami burung-burung migran.

Setelah mendapat es batu, kami langsung berangkat menuju bagan. Ini adalah perjalanan pertama saya ke bagan laut. Ketika speed boat melewati batas antara laut dan sungai – ditandai dengan buih-buih disepanjang batasnya, Allahu Akbar – hawa garam laut menerpa wajah kami, udara segar masuk ke paru-paru kami. Ini baru namanya kehidupan yang sehat, wajah dan bagian tubuh luar mendapat terapi garam – istilah saya – sementara bagian dalam tubuh mendapat jatah udara segar. Pantas saja jika penduduk disini sehat-sehat, mereka bahkan, barangkali, belum perlu dengan dokter.

Kami berkeliling mencari bagan yang dapat kami tumpangi. Ternyata hari ini kami tak begitu beruntung. Semua bagan teri tengah sudah di booking oleh pemancing lain yang telah lebih dahulu datang. Kami kebagian bagan teri pinggir (lumayanlah). Tuan rumah ramah menyambut kami, barang-barang bawaan kami disambut, diangkat dengan tali ke atas bagan.

Petualangan memancing dimulai. Kami sudah tidak sabar lagi. Set-set pancing dibongkar dari tas, lalu kami mulai merangkainya hingga siap dipakai untuk memancing (kak Yudhy la duluan…oi tunggu kak). Umpan-umpan – kami bawa udang dan cumi-cumi – dikeluarkan dari dalam box yang sarat isi dengan es batu. It’s time for fishing.

Kak Yudhy strike (cak elah bahasanya) ikan kerapu seberat satu ons – ha ha ha – lumayanlah sebagai penglaris. Dilanjutkan dengan saya mengangkat ikan yang sama juga dengan berat yang tidak jauh berbeda (weehhhh…kecewa mode ON). Ternyata memang ikan kecil yang sedang banyak berkeliaran dibawah bagan ini. Tapi tunggu dulu, ketika saya melepas kail untuk kesekian kali, umpan disambar oleh ikan besar sebelum kail sampai didasar laut. Oo oo oo dan menahan tali pancing, hanya itu reaksi spontan yang dapat saya berikan untuk ikan besar ini dan huruf O bertebaran dilantai bagan. Kekecewaan kembali menghampiri, karena ketidaksiapan saya dan tali yang terlalu kecil akhirnya kail putus begitu saja (Huff…).

Rasa penasaran menyelimuti, mulai kurangkai pancing dengan tali yang jauh lebih besar, tapi apa mau dikata, keberuntungan saya hanya sebatas itu. Bodo’lah memancing must go on, kami cari kesenangan, menyalurkan hobi, ikan besar hanya bonus bagi kami bukan tujuan sebenarnya.

Ikan besar belum juga singgah ke tempat kami. Sementara perut telah kembali keroncongan. Untunglah kami menyertakan seorang koki dalam perjalanan kami kali ini. Api dinyalakan, sekuali besar air direbus, setelah mendidih bumbu-bumbu dimasukkan bersama ikan dan udang yang telah kami dapat sebelumnya, chef yang satu ini memang paten bin oke – tidak sia-sia kami mem-booking -nya, perlu waktu lama untuk buat janji dengan koki Face Book yang satu ini, tanpa peralatan standar memasak (memangnya kami disini untuk demo memasak), semangkuk besar pindang dihidangkan bersama petai bakar dan nasi hangat (hmm…yummy…makan).

Perut telah terisi, semangat untuk memancing kembali bergelora, kami harus punya cerita seru yang akan diceritakan pada anggota kami yang tidak ikut dalam perjalanan ini. Kalau tidak kami akan pulang dengan kepala tertunduk apalagi kalau badai menghantam bagan yang kami tumpangi, makin keraslah tawa anggota kami, karena mereka telah mewanti-wanti kami, memberi wejangan pada kami agar tidak ke Kilung pada saat angin barat sedang kencang bertiup.

Sore menjelang, sunset telah menampakkan dirinya, jingga mewarnai horizon langit. Saya, Syahrul dan Deni duduk diujung bagan menikmati lukisan alam yang terbentang dihadapan kami. Stik pancing ditangan kami taruh disamping, kami yakin ikan-ikan sedang menikmati suasana senja ini meski mereka telah berulang kali – sepanjang hidup mereka – melihatnya. Shutter kamera pocket dan kamera handphone tidak berhenti ditekan untuk mengabadikan kami ke dalam lukisan alam ini. (pembaca mungkin bosan dengan deskripsi saya tapi memang ini yang sebenarnya, saya kehabisan kata-kata untuk memindahkan lukisan ini ke dalam tulisan).

Sepoi angin laut menerpa membangkitkan rasa kantuk. Kubaringkan tubuh dilantai bagan sementara pancing masih kupegang. Saya memang harus memilih, tidur atau menunggu ikan memakan pancing saya. Kuputuskan untuk istirahat dahulu. Pancing diangkat dan digulung dan sayapun mulai memejamkan mata (terbuai…). Saya dibangunkan untuk supaya pindah kedalam rumah. OMG (oh my god…) ternyata saya tertidut diluar rumah. Hiii, terbayangkan – bahkan didalam mimpi saya tadi yang mendapat ikan besar – jika saya jatuh ke dalam laut sementara saya sama sekali tidak dapat berenang.

Terbangun sekita pukul satu malam, kulihat kak Yudhy sedang ngobrol dengan seorang tuan rumah, saya tidak tahu namanya. Ternyata diluar angin kencang dan hujan rintik sedang bercengkrama. Suara air bergelombang – sepertinya gelombangnya cukup tinggi – dan rumah bagan yang bergoyang membuat saya sedikit kecut (masih takut mati rupanya…ha ha ha). Tapi anehnya kak Yudhy malah mengajak saya tuk kembali memancing. “angin yang membuat air bergelombang, arus laut tidak ikut kencang” kata kak Yudhy. Penjelasan yang masuk akal bagi saya yang ingin menghilangkan rasa takut (wkwkwkwk). Mancing mania is back on stage.

Duduk ditempat yang sama, ikan sudah beberapa kali dari kail kak Yudhy. STRIKE, seekor ikan besar memakan umpan ikan dikail saya. Tarikan ikan ini maut. Stik pancing sampai melengkung hampir ke batas maksimal. Saya tak mau kalah, reel pancing kugulung dan sekuat tenaga kuangkat stik pancingku ke atas. Sedikit demi sedikit tali digulung dan akhirnya seekor kerapu dengan berat kurang lebih satu kilo, diangkat dari habitatnya. That’s whats make me crazy about fishing…it’s thrilling.

Kak Yudhy juga mendapat tangkapan yang bagus, seekor kakap merah. Kak Cecep juga tak mau kalah, seekor kerapu yang lumayan besar menjadi kebanggannya malam ini. Hanya Iyung S Tandjung, seorang pemuda dari kota yang tidak mendapat apa-apa dari laut ini. Wajar saja, Iyung kesini memang hanya untuk numpang istirahat (tidok teruusss…).

Pagi harinya kembali seekor ikan besar menyambar umpan saya (untuk kak Yudhy: percayo samo umpan ikan be kak). Hampir sama dengan kejadian kemarin, ikan menyambar kail bahkan sebelum sampai ke dasar. Kembali kekuatan stik pancing diuji, ikan menarik kail sampai ke dasar dan menahannya disana. Aneh biasanya ikan akan lari berserabutan (tak tahu apakah itu kata yang tepat, maafkan) kali ini setelah menarik ke dasar ikan diam membatu. Saya benar-benar takut stik ini akan patah – semua orang disitu juga berkata yang sama – ketika saya berusaha memaksa ikan untuk naik keatas (ya iyalah keatas, masa’ ke bawah).

Kecurigaan bahwa ikan yang memakan pancing saya adalah ikan pari muncul dari mulut teman-teman lain – yang ikut tegang melihat saya tegang, (helloo…not helping guys, malah ikut-ikutan berpartisipasi dalam tegang) – setelah melihat, merasakan, menganalisi dan menyimpulkan. Setelah beberapa tarik ulur antara saya dan si ikan misterius (saya menarik dia menjulur, lho…) akhirnya, seekor ikan besar lepas lagi dari kail saya. Tangan saya masih gemetar karena adrenalin yang terpacu kencang (puaasss…). Next time fish, next time.

Ikan pari adalah ikan yang menewaskan Steve Irwin, seorang Australian Crocodile Hunter (ahli buaya Australia, kira-kira begitu artinya) dengan sengat ekornya yang sangat beracun.

Kami turun dari bagan setelah mengemasi barang-barang kami, melanjutkan rencana survey kami sekaligus langsung pulang. Sayang sekali, karena kekurangan waktu kami tidak dapat meneruskan perjalanan sampai ke pulau Betet dan, rencana ekspedisi inipun kami batasi sampai ke Tanjung Tengkorak, sebuah nama yang mengintimidasi bukan. Tujuan kami adalah pulau Tengkorak (waaa…takut) lalu menghanyut ke hilir ke Solok Buntu sambil mengamati burung-burung. Setelah sampai ditujuan ternyata speed boat kamipun tidak dapat mendarat. Kami hanya dapat melihat burung-burng itu dari jarak sekitar 350 sampai 450 meter karena sudah masuk area lumpur. speed boat ini dapat kandas kalau kami memaksa untuk lebih dekat ke burung-burung itu.

Untunglah saat air laut surut sehingga kami dapat melihat burung-burung ini mencari makan di daerah pinggiran pantai lumpur. Beberapa jenis burung bangau terlihat mencari makan dalam kelompok-kelompok kecil, sementara burung lainnya juga terlihat asyik menggali lumpur mencari ikan yang mungkin terbenam didalamnya.

Burung-burung kecil – karena masih terbatasnya pengetahuan tentang burung, saya tidak tahu namanya – terbang berkelompok membentuk formasi-formasi cantik seperti angkatan udara yang sedang berlatih tempur atau memeragakan keahlian mengendarai pesawat pada hari jadi angkatan udara (sering melihat di televisi). Menanjak, melayang, belok, mengambang lalu – saya menahan nafas – menukik ke arah air dan kembali terbang ke atas untuk kembali membentuk formasi yang lain.

Burung-burung ini bermigrasi dari Rusia sejak bulan Oktober karena disana telah mulai musim dingin, untuk bertelur, menetaskan dan membesarkan anak-anaknya sampai dapat terbang sendiri. Lalu kembali kesana saat musim dingin berakhir.

Puas mengamati burung, speed boat kami bergulir pulang ke Sungsang. Sesampainya di Sungsang kami mampir ke rumah Deni. Kami masih punya sedikit waktu beristirahat sebelum speed boat menjemput kami pukul satu siang. Waktu ini dimanfaatkan kak Yudhy untuk cari oleh-oleh. Apa mau dikata, tidak semua yang kami cari kami dapatkan. Ikan asin kakap dan udang satang adalah beberapa buruan yang gagal kami dapatkan.

Menjelang jam makan siang, serombongan hidangan menyerbu ruang tamu (kali ini saya tidak minta tolong…he he he). Tiga piring sop cumi-cumi, tiga piring kepiting goreng, dua ekor ikan yang saya tidak tahu namanya masih ditambah lagi dengan tempe goreng dihidangkan bersama sebakul nasi. Dasar tak tahu malu, semua hidangan ini tandas oleh kami. Perut kami kencang, ikat pinggang dikendurkan (huff…fiuuhhh), dan keringat mengalir.

***

Kami sampai di Palembang sekitar pukul setengah empat sore. Sial, kemacetan yang dihasilkan karena SBY berkampanye masih kami rasakan, terutama oleh saya. Tiba di mabes, istirahat lagi sebentar lalu bubar jalan. Pulang ke rumah masing-masing.